LEGENDA KERAJAAN MELAYU DI BATU LIMAU, KUNDUR
Rombongan Raja dikutuk jadi batu
KUNDUR (HK) - Bagi masyarakat Kundur dan
sekitarnya tentu tidak asing lagi dengan objek wisata Batu Limau.
Daerah ini tersohor dengan aneka jenis bebatuannya yang konon
mengandung magis. Uniknya, bebatuan tersebut menyerupai aneka bentuk.
Ya, di Batu Limau yang terletak di Desa Batu Limau, Kecamatan Ungar,
Kabupaten Karimun sedikitnya terdapat enam bebatuan yang sudah
terkenal. Nama bebatuan itu antara lain; (maaf) batu kemaluan laki-laki
dan perempuan, batu bilik (dalam bahasa Melayu artinya kamar), batu
kapal, batu limau, batu keris, batu pengantin dan banyak lagi lainnya.
Nama
objek wisata Batu Limau diabadikan oleh warga setempat sebagai nama
desa, yakni Desa Batu Limau, yang merupakan salah satu desa di
Kecamatan Ungar. Sedangkan Kecamatan Ungar sendiri merupakan pemekaran
dari Kecamatan Kundur, yang baru saja disahkan dan dipimpin oleh
seorang camat bernama Raja Jemishak sejak akhir Desember 2012 silam.

Untuk
menjangkau lokasi objek wisata Batu Limau, warga dari luar Pulau Kundur
terlebih dahulu transit di Tanjungbatu, kemudian menuju pelabuhan bot
pancung yang memang dikhususkan menuju Pelabuhan Alai dan Sungai Buluh.
Perjalanan melalui laut ditempuh sekitar 10 menit dengan tarif Rp3 ribu
per orang.
Setibanya di pelabuhan Sungai Buluh atau Alai,
pengunjung akan diantar ojek sepeda motor sekitar 10 menit perjalanan
dengan tarif Rp10 ribu. Setelah sampai di lokasi, pengunjung tidak
dikenakan tarif alias gratis. Hanya saja, jika pada saat ada acara
keramaian atau pesta pantai, maka pengunjung dikenakan biaya pembelian
karcis masuk sebesar Rp5 ribu.

Panorama
pantai yang dipenuhi dengan bebatuan sangat cocok menjadi alternatif
menghabiskan masa liburan dan bersantai bersama keluarga di sana.
Dengan memandangi lautan luas yang berbatasan langsung dengan Pulau
Penyalai, Kabupaten Indra Giri Hilir (Riau Daratan), pengunjung akan
disuguhi aktivitas nelayan yang melaut di sekitar perairan Batu Limau.
Camat
Ungar, Raja Jemishak mengatakan, keberadaan bebatuan di objek wisata
Batu Limau yang kini diabadikan menjadi nama salah satu desa di
kecamatan tersebut, memiliki cerita legenda dan misteri mengenai
raja-raja Melayu zaman dahulu.

Diceritakan
pria yang akrab disapa Jimi ini, pada zaman raja-raja Melayu dahulu,
ada satu rombngan kerajaan Melayu Lingga berlayar dan suatu ketika
mereka kehabisan perbekalan air. Melihat di sekitar perairan ada pulau
yang cukup besar, sehingga kapal kerajaan tersebut pun merapat.
"Setibanya
di pulau tersebut (sekarang bernama Pulau Ungar), anak raja yang
perempuan pun ikut turun ke pantai dan menyempatkan diri berkenalan
dengan seorang nelayan kampung, yang pada akhirnya mereka saling
mencintai namun tak direstui oleh sang raja, karena itu melanggar
pantang kerajaan dengan alasan anak raja tidak boleh menikah dengan
masyarakat biasa. Atas hal ini putri raja pun jatuh sakit karena cinta
yang tak direstui dan setiap hari sakitnya makin parah. Akhirnya,
dengan berbagai pertimbangan serta rasa sayang sang raja kepada
anaknya, maka direstuilah hubungan anaknya sehingga menikahlah mereka,"
ujar Jimi yang juga sebagai putra asli kelahiran dari Pulau Ungar.

Pria
kelahiran 1970 ini pun melanjutkan ceritanya, bahwa atas pernikahan
anak raja tersebut, ternyata mendapat sumpahan nenek moyang mereka
dengan alasan telah melanggar pantang kerajaan, sehingga seluruh
rombongan raja yang merapat ke Pulau Ungar termakan sumpah dan menjadi
batu, termasuk berbagai perhiasan dan perlengkapan yang dibawa berlayar
pada saat itu. Sehingga pada akhirnya hantaran untuk pesta pernikahan
anak raja yang di dalamnya terdapat buah limau (dalam bahasa Melayu
buah jeruk) ikut menjadi batu, sebagaimana saat ini jika dilihat dari
dekat, Batu Limau memang hampir mirip seperti buah kegemaran putri
kesayangan raja yang di bawahnya dialas dengan talam (nampan-red).
Demikian
pula batu besar yang kini disebut sebagai batu kapal. Selain itu ada
batu bilik, batu pengantin, batu lesung dan banyak lagi.

"Waktu
orang tua-tua dulu katanya masih ada pinggan mangkok (piring dan
baskom, red) yang masih bisa dipergunakan oleh masyarakat setempat jika
ada hajatan atau pesta pernikahan. Sehingga warga pada saat itu pun
sangat terbantu dengan peralatan makan peninggalan raja tersebut. Namun
sekarang tak ada lagi, katanya ada yang pinjam tapi pada saat
dikembalikan jumlahnya berkurang, akhirnya pinggan yang jumlahnya
banyak di Batu Limau itu hilang begitu saja dan tidak bisa lagi
dipinjam oleh masyarakat setempat," jelas Jimi.
Luput dari Perhatian
Sampai
saat ini, bebatuan yang penuh makna sejarah kerajaan Melayu zaman
dahulu masih bisa dilihat dengan jelas, namun sangat disayangkan
kondisi objek wisata Batu Limau tampak tidak terawat. Sampah sabut
kelapa tampak berserakan di atas pasir pantai dan tidak ada satu pun
tong sampah yang disediakan.
Di samping itu, tidak ada tempat
berlindung dari terik matahari, sehingga pengunjung terpaksa berteduh
di bawah pepohonan rindang untuk melepaskan lelah. Jika hujan turun,
pengunjung terpaksa berteduh di area parkir yang tidak cukup luas.
Tapi
pria yang kini memimpin di tanah kelahirannya itu tidak putus asa dan
mengaku akan berbuat semampunya, guna memajukan objek wisata di kampung
halamannya.
"Ini akan jadi ikon Pulau Ungar dan khususnya
Kecamatan Ungar sendiri. Karena kecamatan lain tidak memiliki bebatuan
unik seperti ini, sehinga nantinya akan jadi daya tarik sendiri yang
kemudian akan bermuara pada pendapatan masyarakat setempat. Banyak
pengunjung tentu banyak pembeli sehingga warga pun berkesempatan
menjajakan dagangan atau oleh-oleh dari Desa Batu Limau," ucap Jimi.
Untuk
sementara waktu, Jimi mengaku akan melakukan pembangunan fasilitas
objek wisata tersebut berupa bangsal atau tempat beristirahat, juga
bisa dijadikan sebagai tempat berteduh.
Adapun kendala yang
dihadapi saat ini, menurut Jimi adalah panggung rakyat. Jika ada
kegiatan atau pesta rakyat, warga terpaksa mendirikan atau sewa
panggung dengan biaya yang cukup mahal. Namun jika hal ini dapat
diatasi oleh pemerintah melalui Dinas Pariwisata Seni dan Budaya
(Disparbud) Kabupaten Karimun untuk membangun panggung permanen, maka
tak perlu lagi mengeluarkan anggaran besar.
"Kalau sudah ada
panggung permanen kita akan buat pesta rakyat sebulan sekali. Sehingga
wisatawan dari luar pun akan datang ke sini. Usulan ini sudah saya
masukkan saat musrenbang kemarin tentang pengembangan objek wisata,
mudah-mudahan dipenuhi. Ini juga untuk meningkatkan pemasukan desa,"
harap Jimi.
Dijelaskannya pula, setiap hari libur atau akhir
pekan, objek wisata Batu Limau selalu dikunjungi, tapi hanya didominasi
oleh wisatawan lokal. Hal inilah yang menjadi perhatiannya untuk serius
menggarap salah satu situs sejarah kerajaan Melayu tersebut.
Jimi
juga menceritakan, pada saat dirinya masih berprofesi sebagai pekerja
swasta dan sempat bekerja di Hotel Gembira, dia memiliki strategi
tersendiri untuk membuat pengunjung hotel merasa penasaran dan pasti
berkeinginan datang ke bebatuan unik itu. Dengan cara mengabadikan
semua batu yang ada menggunakan kamera seadanya, kemudian dicetak
dengan ukuran besar dan ditempel di setiap sudut hotel, sehingga banyak
turis asing terutama dari Singapura dan Malaysia tertarik.
Cara
ini menurut Jimi cukup efektif pada saat itu. Sehingga setiap akhir
pekan kerap ditemui wisatawan asing yang hanya bersantai atau memang
ingin melihat dengan mata kepala mereka bentuk bebatuan unik tersebut.
"Alhamdulillah
dengan cara itu tidak sedikit dari turis asing yang minta diantarkan ke
Batu Limau, penambang bot pancung pun mendapat penghasilan, karena
mereka banyak yang sewa dan bukan naik reguler. Tapi saat ini seiring
pengunjung mulai tidak ada, Batu Limau seolah tidak lagi dikenal,
padahal ini situs sejarah dan ikon masyarakat Melayu,